Beberapa waktu lalu harga seporsi pecel lele tak wajar di kawasan Jalan Malioboro , Yogyakarta menjadi perbincangan hangat warganet. Pemilik akun Tiktok bernama @aulroket mengeluh atas tarif satu porsi pecel lele yang dibanderol hingga Rp 37 ribu di salah satu warung lesehan di tempat itu. Sementara tarif pecel lele tertinggi hanya berkisar Rp15 ribu – Rp 18 ribu per porsi.
Menariknya, persoalan pecel lele akhirnya menjadi perhatian pemerintah, dalam hal ini Pemkot Yogyakarta. Warung lesehan yang memasang tarif terlalu mahal itu akhirnya diberi peringatan dan ditutup sementara.
Dalam sektor pariwisata, hadirnya pusat-pusat kuliner merupakan hal penting yang tidak dapat dianggap sebelah mata. Dalam perspektif wisatawan, kebutuhan makan dan minum tidak cukup hanya dengan pelayanan konsumsi yang disediakan hotel tempat mereka menginap. Keingintahuan menikmati cita rasa makanan khas di suatu daerah mendorong wisatawan mengunjungi pusat-pusat kuliner yang ada. Bagi pengusaha kuliner meningkatnya jumlah pembeli, yang sebagian adalah wisatawan tentu saja disambut positif. Omzet penjualan akan meningkat dan keuntungan terbayang di depan mata.
Citra Pariwisata
Kasus konsumen mengeluh karena harga makanan mahal sebenarnya bukan peristiwa baru. Kasus serupa mungkin juga sering terjadi di berbagai daerah, tapi tidak sampai riuh terekspose di media sosial. Pembeli yang terpaksa harus membayar mahal mungkin hanya menggerutu karena harus merogoh kocek lebih dalam. Yang pasti pembeli merasa jera dan tidak akan makan di tempat itu lagi.
Tanpa disadari oleh pemilik warung kuliner, menaikan harga tak wajar justru akan berimbas pada kelangsungan usahanya. Sebab konsumen yang kecewa akan menyampaikan pengalamannya kepada kerabat dan kenalan lainnya. Konsumenpun akhirnya enggan membeli makanan di tempat tersebut.
Keputusan Pemkot Yogyakarta memberikan teguran dan menutup sementara warung lesehan di kawasan Jalan Malioboro bisa dijadikan pelajaran berharga. Karena ini menyangkut citra pariwisata daerah dan kelangsungan usaha pedagang kuliner lainnya. Persepsi bahwa tarif makanan di daerah tertentu mahal akan melekat dalam ingatan wisatawan.
Di sejumlah kabupaten/kota Kalimantan Tengah saat ini telah berdiri pusat-pusat kuliner yang menyediakan menu cukup beragam. Sebagian telah difasilitasi Pemda dengan menyediakan lokasi berdagang yang cukup representative. Meskipun masih ada pedagang kuliner yang tidak mencantumkan daftar tarif menunya, hingga saat ini belum ditemukan kasus konsumen mengeluh dan protes karena mahalnya tarif makanan. Kuliner Kalimantan Tengah, terutama sajian ikan segar sangat diminati wisatawan.
Jejak kuliner Indonesia telah didapati dalam sejumlah prasasti abad ke-8 sampai ke-10 Masehi. Ketika itu, istilah boga telah dikenal, yakni makanan yang berhubungan dengan dapur, dibuat dengan sentuhan seni dan memberikan cita rasa kenikmatan. Hal itu banyak didapati pada prasasti Jawa dan Sumatra. Teknik memasak dan bahan makanan asli Indonesia berkembang dan kemudian dipengaruhi oleh seni kuliner India, Timur Tengah, Cina, dan Eropa (id.wikipedia.org).
Pada tahun 2000 tercatat jumlah restoran/rumah makan di Kalimantan Tengah sebanyak 787 buah. Tiga kabupaten/kota memiliki jumlah rumah makan terbanyak, yaitu Kota Palangka Raya (270), Kabupaten Kapuas (126) dan Kabupaten Kotawaringin Timur (92). Sementara jumlah kunjungan wisatawan domestik sebanyak 783.100 orang dan wisatawan mancanegara sebanyak 2.365 orang (Provinsi Kalimantan Tengah Dalam Angka 2021).
Dalam hitung-hitungan bisnis sederhana diasumsikan, semakin lama wisatawan berkunjung ke suatu daerah semakin bermakna positif bagi usaha pariwisata. Sebab, wisatawan akan lebih banyak pula membelanjakan uangnya, seperti pengeluaran untuk biaya penginapan, belanja kuliner, transportasi, pembelian cinderamata dan lain-lain. Tingginya jumlah kunjungan dan lama tinggal wisatawan akan turut menggerakan roda perekonomian di bidang pariwisata, termasuk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang jumlahnya cukup dominan.
Menurut data BPS, selama April 2021 di Kalimantan Tengah rata-rata lama tamu menginap (RLTM) di hotel bintang mencapai 1,56 hari, sementara hotel non bintang 1,13 hari. Sedangkan tingkat penghunian kamar (TPK) hotel bintang mencapai 39,86 persen, turun 6,85 poin dibanding Maret 2021 yang sebesar 46,71 persen. TPK hotel non bintang turun 1,61 poin, dari 19,22 persen menjadi 17,61 persen. Dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya, TPK hotel bintang naik 14,83 poin dan hotel non bintang naik 8,09 poin.
Wajib Mengikuti Prokes
Usaha kuliner yang termasuk dalam komponen pajak restoran memberikan kontribusi cukup besar bagi Pendapatan Asli Daerah(PAD) kabupaten/kota di Kalimantan Tengah. Sebagai contoh, pada tahun 2020 capaian pajak restoran Kota Palangka Raya mencapai Rp12,49 miliar lebih.
Kasus mahalnya seporsi pecel lele di kawasan Malioboro menjadi pelajaran berharga. Bila tidak ditangani dengan serius pada saatnya akan berdampak pada kelangsungan usaha kuliner lainnya. Omzet penjualan akan menurun seiring berkurangnya minat konsumen. Dari aspek kunjungan wisata, adanya kasus kuliner mahal menuntut wisatawan lebih berhati-hati membelanjakan uangnya. Dalam kondisi tertentu, wisatawan tidak akan memperpanjang kunjungannya atau bahkan tidak berminat mengunjungi daerah tersebut.
Pemerintah daerah melalui dinas terkait harus lebih proaktif membina usaha kecil di sektor ini. Keterlibatan Pemda tidak hanya sekedar penerbit perijinan dan pengawasan yang bersifat umum,tapi juga melakukan monitoring secara berkala terhadap tarif makanan yang ditetapkan usaha kuliner. Besaran tarif seporsi makanan memang terkait dengan biaya produksi dan mekanisme pasar, tapi untuk kawasan wisata kuliner tarif makanan tetap harus ada aturannya. Pemilik usaha kuliner yang melanggar ketentuan harus mendapatkan sanksi, dari sanksi ringan berupa peringatan hingga penutupan usaha.
Terkait pandemi Covid-19, karyawan usaha kuliner wajib mengikuti protokol kesehatan yang ketat, yaitu menggunakan masker sesuatu ketentuan saat melayani konsumen. Sehingga usaha kuliner tidak menjadi cluster sumber penyebaran virus mematikan itu.