Jakarta, CNN Indonesia — Presiden Joko Widodo boleh jadi bangga, salah satu menterinya, Sri Mulyani Indrawati didapuk penghargaan sebagai menteri terbaik dunia dari World Government Summit.
Penghargaan menteri terbaik ini merupakan penghargaan global yang diberikan kepada satu orang menteri dari semua negara di seluruh dunia sejak 2016. Adapun proses seleksi dan penentuan pemenangnya dilakukan oleh lembaga independen Ernst & Young.
Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Eko Listiyanto menuturkan, penghargaan yang diperoleh Sri Mulyani memperlihatkan bahwa dunia percaya fiskal Indonesia dikelola secara hati-hati (prudent).
“Selain fiskal yang prudent, catatan lain yang mungkin dilihat adalah keberhasilan amnesti pajak (tax amnesty). Keberhasilan itu membuat negara lain melirik, terutama negara-negara Timur Tengah,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/2).
Selain itu, sikap Indonesia melalui Sri Mulyani yang banyak terlibat dalam forum internasional, antara lain terkait keterbukaan informasi dan reformasi perpajakan, juga turut serta menjadi poin positif.
“Memang, di era Sri Mulyani, government (tata kelola Kementerian Keuangan) di mata publik semakin baik. Tapi, tentu dibutuhkan pula hasil yang riil di masyarakat,” terang Eko.
Salah satu catatan bagi Sri Mulyani, menurut Eko, adalah masih rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia menilai, pertumbuhan di kisaran lima persen belum cukup bagi Indonesia untuk mengakselerasi perekonomian.
“Daya beli masyarakat juga masih lesu,” ungkap Eko. Selain itu, Sri Mulyani juga memiliki pekerjaan rumah yang merupakan amanat Undang-Undang. Sebagian pekerjaan rumah tersebut, bahkan seharusnya sudah selesai. Namun, hingga kini belum jelas nasibnya. Antara lain, pembentukan aturan turunan Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Salah satunya peraturan pemerintah terkait besaran bagian premi untuk pendanaan program restrukturisasi perbankan (PRP).
Aturan turunan tersebut seharusnya rampung pada April 2017. Pasalnya, UU PPKSK mengamanatkan seluruh aturan turunan tersebut harus rampung dalam satu tahun sejak UU diundangkan pada 15 April 2016.
Selain PP soal premi PRP, Sri Mulyani juga belum merealisasikan amanah Undang-Undang Perasuransian untuk membentuk UU terkait program penjaminan polis. Padahal, UU tersebut seharusnya sudah terbentuk tiga tahun setelah UU Perasuransian diundangkan pada Oktober 2014. Dengan demikian, UU penjaminan polis harus rampung di Oktober 2017.
“Di luar fiskal, salah satu yang belum juga dicapai itu, aturan-aturan di sektor keuangan. Walaupun pengawasannya bukan di Kementerian Keuangan, tapi pembuatan aturannya semua ranah Kemenkeu. Ini yang perlu didorong juga karena sangat penting,” imbuh dia. Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih juga memberikan catatan yang tak jauh berbeda. Menurut Lana, pertumbuhan ekonomi menjadi pekerjaan rumah Sri Mulyani yang membutuhkan tenaga ekstra.
“Tantangannya adalah bagaimana mencapai 5,4 persen. Kalau dengan kondisi pengeluaran pemerintah seperti ini, sulit mewujudkannya,” ungkap Lana.
Ditengah daya beli masyarakat yang cenderung lesu, Lana menekankan peran konsumsi pemerintah sangat penting untuk mendorong perekonomian.
“Ini kan ada ekonomi yang melambat, fiskal harus lebih ekspansif,” ungkap Lana. Namun, di sisi lain, fiskal yang lebih ekspansif membutuhkan dana yang besar, yang harus dibiayai dengan pajak atau utang.
“Pajak juga menjadi masalah sendiri karena selama ini penerimaannya hampir selalu tak mencapai target. Karena itu, reformasi pajak perlu dikejar,” tuturnya.
Tahun ini, menurut Lana, juga akan menjadi tahun yang berat bagi Sri Mulyani dalam mengelola fiskal. Pasalnya, selain dihadapkan pada kenaikan harga minyak yang dapat menimbulkan dilema pada harga BBM, tahun depan juga merupakan tahun politik.
“Ini akan membuat pengelolaan anggaran di tahun ini tidak mudah,” pungkasnya. (bir)
sumber : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180213161908-78-275918/menteri-terbaik-dunia-dan-rendahnya-pertumbuhan-ekonomi